Tanya jawab
seputar Jumrah
BATU UNTUK MELONTAR
Oleh
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz
Pertanyaan
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Dari mana
batu untuk melontar di ambil ? Bagaimana sifat melontar ? Dan apa hukum mencuci
batu yang akan digunakan melontar ?
ilustrasi orang mencari kerikil di mina |
Jawaban
Batu diambil di Mina.
Tapi jika seseorang
mengambil batu pada hari Id dari Muzdalifah, maka diperbolehkan. Dan tidak
disyariatkan mencuci batu tetapi langsung mengambilnya dari Mina atau
Muzdalifah atau dari tanah haram yang lain. Sedangkan ukuran batu adalah
kira-kira sebesar kotoran kambing dan tidak berbentuk runcing seperti pelor.
Demikianlah yang dikatakan ulama fiqih. Adapun cara melontar adalah sebanyak
tujuh batu pada hari Id, yaitu Jumrah Aqabah saja. Sedangkan pada hari-hari
tasyriq maka sebanyak 21 batu setiap hari, masing-masing tujuh lontaran untuk
Jumrah Ula, tujuh lontaran untuk Jumrah Wustha, dan tujuh lontaran untuk Jumrah
'Aqabah.
MELONTAR DENGAN BATU
YANG TERDAPAT DI SEKITAR TEMPAT MELONTAR
Pertanyaan
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Apakah
boleh bagi orang haji melontar jumrah dengan batu yang terdapat di sekitar
tempat melontar ?
Jawaban
Boleh. Sebab pada asalnya batu di sekitar tempat melontar
tidak digunakan melontar. Adapun batu-batu yang terdapat dalam bak tempat
melontar, maka tidak boleh digunakan untuk melontar.
WAKTU, CARA, DAN
JUMLAH LONTARAN
Pertanyaan
Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz ditanya : Kapan
jama'ah haji memulai melontar ? Bagaimana caranya dan berapa kali melontar ?
Dan di tempat manakah dia memulai dan mengakhiri melontar ?
Jawaban
Melontar pertama kali adalah melontar Jumrah 'Aqabah pada
hari Ied. Tetapi jika seseorang melakukannya pada tengah malam bagian kedua
dari malam Ied, maka demikian itu cukup baginya. Sedangkan yang utama adalah
melontar Jumrah 'Aqabah antara waktu dhuha sampai terbenam matahari pada hari
Ied.Tapi jika terlewatkan dari waktu itu, maka dapat melontar setelah
terbenamnya matahari pada hari Ied. Caranya adalah dengan tujuh kali melontar
dengan membaca takbir setiap kali melontar.
Adapun melontar pada hari-hari tasyriq adalah dilakukan
setelah matahari condong ke barat (setelah dzuhur). Yaitu memulai dengan
melontar Jumrah Ula yang dekat dengan masjid Al-Khaif sebanyak tujuh kali
lontaran disertai takbir setiap melontar. Lalu Jumrah Wustha dengan tujuh kali
melontar disertai takbir setiap kali melontar. Kemudian melontar di Jumrah
'Aqabah sebanyak tujuh kali lontaran disertai takbir setiap kali melontar. Dan
demikian itu dilakukan pada tanggal 11,12, dan 13 Dzulhijjah bagi orang yang
tidak mempercepat pulang dari Mina. Tapi bagi orang yang ingin mempercepat
pulang dari Mina, maka hanya sampai tanggal 12 Dzulhijjah.
Dan disunnahkan
setelah melontar Jumrah Ula dan Jumrah Wustha berhenti di samping tempat
melontar
. Di mana setelah melontar Jumrah Ula disunahkan berdiri di
arah kanan tempat melontar dengan menghadap kiblat seraya berdo'a panjang
kepada Allah. Sedang sehabis melontar Jumrah Wustha disunnahkan berdiri
disamping kiri tempat melontar dengan menghadap kiblat seraya berdo'a panjang
kepada Allah. Tapi sehabis melontar Jumrah 'Aqabah tidak disunnahkan berdiri di
sampingnya karena Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam setelah melontar Jumrah
Aqabah tidak berdiri disampingnya.
MELONTAR DENGAN BATU
BEKAS LONTARAN ORANG LAIN
Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin
Pertanyaan :Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin
ditanya : Sebagian orang mengatakan tidak boleh melontar dengan batu yang telah
digunakan melontar. Apakah demikian itu benar, dan apa dalilnya ?
Jawaban
Itu tidak benar. Sebab orang-orang yang berdalil bahwa batu
yang telah digunakan melontar tidak boleh digunakan melontar lagi adalah dengan
tiga alasan.
Pertama, Bahwa
batu yang telah digunakan melontar seperti air yang telah digunakan untuk
bersuci yang wajib. Kata mereka bahwa air yang telah digunakan bersuci yang
wajib, maka hukumnya menjadi suci tetapi tidak mensucikan.
Kedua, Seperti
hamba sahaya yang telah dimerdekakan maka tidak boleh dimerdekakan lagi untuk
membayar kifarat atau lainnya.
Ketiga, Dengan
mengatakan boleh menggunakan batu yang telah digunakan berarti memungkinkan
semua orang yang haji melontar dengan satu batu. Di mana seseorang melontar
dengan satu batu kemudian mengambilnya lagi dan melontar dengannya, lalu
mengambilnya lagi dan melontar dengannya hingga sampai tujuh kali. Kemudian
datang orang kedua dan mengambil batu tersebut lalu melontar dengannya,
kemudian di ambil lagi untuk melontar hingga sampai tujuh kali.
Sesungguhnya ketiga alasan tersebut jika dianalisa, maka
kita dapatkan memiliki kelemahan sekali.
Adapun terhadap alasan pertama, maka kami mengatakan tidak
adanya koreksi dengan hukum asal. Bahwa mengatakan air yang telah digunakan
untuk bersuci yang wajib menjadi "suci tidak mensucikan", maka
sesungguhnya tidak ada dalil atas demikian itu. Sebab tidak memungkinkan
memindahkan air dari sifanya yang asli, yaitu suci, melainkan dengan dalil.
Atas dasar ini maka air yang telah digunakan untuk bersuci yang wajib, maka dia
tetap "suci dan mensucikan". Jika tiada hukum asal yang menjadi
sandaran maka batal hukum cabang yang diqiyaskannya. Sedang alasan kedua, yakni
mengqiyaskan batu yang dilontarkan dengan hamba sahaya yang dimerdekakan, maka
demikian itu mengqiyaskan kepada sesuatu yang tidak ada kesamaan. Sebab jika
hamba sahaya telah dimerdekakan maka dia menjadi merdeka dan bukan hamba sahaya
sehingga tidak ada tempat untuk memerdekakkan diri lagi. Tetapi tidak demikian
dengan batu. Sebab ketika batu dilontarkan, maka dia juga masih tetap batu
setelah dilontarkan. Sehingga tidak hilang arti karenanya dia layak untuk
digunakan melontar. Karena itu jika hamba sahaya yang dimerdekakan menjadi
budak lagi sebab alasan syar'i, maka dia boleh dimerdekakan untuk kedua
kalinya. Lalu tentang alasan ketiga, yaitu mengharuskan dari yang demikian
untuk mencukupkan melontar dengan satu batu, maka kami mengatakan, jika
memungkinkan demikian itu maka akan ada.
Tapi hal ini tidak mungkin dan tidak akan ada seseorang pun
yang condong kepadanya karena banyaknya batu. Atas dasar itu maka jika jatuh
dari tanganmu satu batu atau lebih banyak disekitar tempat-tempat melontar,
maka ambillah gantinya dari batu yang ada di sampingmu dan gunakanlah untuk
melontar, walaupun kuat diduga bahwa batu itu telah digunakan untuk melontar
maupun tidak.
Nama jumrah
1.Aqabah Merupakan salah satu tempat pelemparan jumrah,
dengan nama jumrah Aqabah.
2.ula adalah tempat
ke dua pelemparan jumrah
3.wusta ialah tempat terahkir pelemparan jumrah
Seluruh artikel di atas bersumber di dari
[Disalin dari buku
Fatwa-Fatwa Haji dan Umrah oleh Ulama-Ulama Besar Saudi Arabia, Penyusun
Muhammad bin Abdul Aziz Al-Musnad, terbitan Pustaka Imam Asy-Syafi'i, hal 201 -
204, Penerjemah H.Asmuni Solihan Zamaksyari Lc]
Sumber : Sejarah Mekah, Dr. Muhammad Ilyas A
Tidak ada komentar:
Posting Komentar